Selasa, 22 Maret 2011


KERAJAAN SRIWIJAYA
KERAJAAN SRIWIJAYA
Jauh sebelum mengenal tulisan, kehidupan masyarakat prasejarah di Indonesia masih mengandalakan local genius yang mereka miliki. Local genius merupakan kebudayaan atau kepandaian asli yang mereka miliki yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat lainnya. Local genius ini memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat prasejarah meliputi berbagai aspek yaitu, sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pada kehidupan sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan masyarakat prasejarah telah mengenal kehidupan gotong royong, bercocok tanam tingkat awal sampai tingkat lanjut dan juga telah mengenal sistem barter, serta telah memiliki kemampuan membuat perahu bercadik dan mengenal ilmu perbintangan. Sistem kepercayaannya pun telah mengenal sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, dimana mereka percaya bhwa setiap benda memiliki kekuatan gaib dan setiap ruh memiliki kekuatan gaib. Mereka juga telah mengenal hidup nomaden hingga hidup secara sedenter. Seluruh peristiwa tersebut tidak terlepas dari local genius yang mereka miliki saat itu. Hal ini belum dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu Budha.
Sering dengan pembabakan masa, kehidupan masa prasejarah mulai berubah menjadi masa sejarah atau masa mengenal tulisan. Pada masa mengenal tulisan, sudah mengalami kontak dengan dunia luar dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebenarnya, pada masa prasejarah, masyarakat purba telah menjalin hubungan dengan negara lain. Hal ini dikarenakan oleh keadaan geografis yang berbeda sehingga memungkinkan untuk menjalin hubungan perdagangan  dengan dunia luar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini diperkuat dari berita Cina yaitu adanya barang barang keramik Cina yang banyak ditemukan di Indonesia. Barang keramik itu ada yang berasal dari dinasti Han (206 SM-221 SM). Bahkan arca batu dari pasemah (Sumatera Selatan, kabupaten Lahat) terdapat dalam suatu langgam yang mirip juga dengan langgam pahatan dinasti Han.
Dengan dimulainya masa sejarah, maka dimulai pula masa peradaban hindu budha yang mempengaruhi seluruh aspek dan sistem kehidupan di indonesia. Proses masuknya kebudayaan hindu budha tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas hubungan Indonesia, India dan Cina sekitar abad 1 masehi. Hal ini terjadi karena kepulauan indonesia letaknya ditengah tengah perjalanan laut yang menghubungkan Cina dan India. Pada awalnya hubungan antara Cina dan India adalah hubungan dagang. Sekitar abad 1 masehi Cina dan India melakukan hubnagn dagang melaui jalur darat. Akan tetapi , hal tersebut banyak mengalami kendala yaitu terdapat perampok yang merampas barang komoditi yang akan mereka jual. Oleh karena itu, mereka mulai menggunakan jalur laut guna menghindari kendala tersebut. Akibat hubungan melalui jalur laut inilah posisi kepulauan nusantara menjadi penting, sehingga akhirnya kebudayaan hindu mulai menyebar ke nusantara. Banyak ilmuwan yang mngemukakan teori masuknya hindu budha. Akan tetapi, teori yang paling mendekati kebenaran yaitu teori brahmana yang dikemukakan oleh J.C Van Leur yang mengemukakan bahwa golongan brahmanalah yang mempunyai peranan dalam proses penyebaran hindu. Teori ini juga diperkuat dengan adanya prasasti yang bertuliskan huruf sansekerta. Huruf sansekerta hanya dimengerti dan dipahami oleh kaum brahmana karena segala sesuatu yang bersifat keagamaan dikuasai penuh oleh kaum brahmana.
Wujud pengaruh kebudayaan Hindu Budha meliputi berbagai aspek yaitu, bidang bangunan, bidang kesenian, bidang filsafat, bidang pemerintahan, bidang ekonomi, dan didang sosial. Dalam bidang bangunan tampak jelas terjadi akulturasi punden berundak dengan kuil India yang menghasilkan candi. Bidang ekonomi telah mengenal mata uang dan sistem perdagangan tidak terlepas dari pengaruh Hindu Budha. Bidang sosial dari sistem gotong royong menjadi sistem kasta dimana dalam sistem kasta mengakibatkan hubungan sosial menjadi kaku dan sulit melakukan pergerakan mobilitas sosial. Selain itu, pada bidang pemerintahan ketika zaman purba hanya mengenal kepala suku (primus enterperes) sebagai pemimpin suku tersebut. Sehingga, ketika masa peradaban Hindu Budha dimulai sistem birokrasi pemerintahan berubah menjadi sistem kerajaan.
Kebudayaan Hindu Budha telah banyak melahirkan kerajaan kerajaan besar di tanah nusantara yang mampu menaklukan seluruh nusantara bahkan sebagian di daerah luar di asia tenggara. Kerajaan besar itu khususnya ialah kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya diketahui luas sebagai kerajaan maritim terbesar di indonesia yang pernah berjaya di masa lampau. Di dalam peta sejarah asia tenggara lama, nama Sriwijaya nyaris menjadi mitos dari sebuah kebesara dan keagungan. Selain dikenal dengan potensi lautnya yang besar, nama Sriwijaya juga terdengar harum karena keterbukaannya dengan dunia luar. Reputasi Sriwijaya sebagai kerajaan yang berbudaya juga dikenal luas karena di Sriwijaya-lah untuk pertama kalinya agama budha berkembang pesat.
Kerajaan Sriwijaya adalah nama kerajaan yang tentu sudah tidak asing, karena Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pada waktu itu (abad 7 - 15 M). Perkembangan Sriwijaya hingga mencapai puncak kebesarannya sebagai kerajaan Maritim. Sumber-sumber sejarah kerajaan Sriwijaya selain berasal dari dalam juga berasal dari luar seperti dari Cina, India, Arab, Persia. Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. (Muljana, 2006:108)
Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenali sebagai Palembang di Sumatera Pengaruhnya amat besar di atas semenanjung Malaysia dan Filipina. Kuasa Sriwijaya merosot pada abad ke-11 .Kerajaan Sriwijaya mulai ditakluk berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari (Singasari) dan akhirnya oleh kerajaan Kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkaelogi, artefak seperti patung dan lukisan, dan hikayat.
Munculnya kerajaan sriwijaya sebagai sebuah kerajaan telah mengalihkan perhatian para ahli sejarah kuno Indonesia dari sejarah kerajaan Mataram. Sayangnya meskipun sudah banyak penelitian yang dilakukan , tetapi hasilnya kurang memuaskan karena banyak hal hal yang belum dapat diungkapkan secara tuntas. Salah satu penyebabnya ialah sumber sejarah yang ada ternyata tidak cukup untuk dapat merekonstruksi sejarah Sriwijaya dari awal hingga akhir. (Notosusanto, 2008:70)
1.1  Permasalahan
Ø  Bagaimanakah berdirinya Kerajaan Sriwijaya?
Ø  Bagaimanakah Kerajaan Sriwijaya dapat menjadi Kerajaan Nasional I?
Ø  Bagaimanakah kehidupan ekonomi, politik, social, dan budaya pada masa kerajaan Sriwijaya?
Ø  Mengapa kerajaan maritim Sriwijaya dapat runtuh?



2.1 Munculnya Kerajaan Sriwijaya
1. Sejarah dan Lokasi
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.(Muljana, 2006:108)
2. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
B. Sumber Asing
Sumber Cina
Kunjungan I-tsing, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya  dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M. (Muljana, 2006:112)
Sumber Arab
Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda.
Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi.
 Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
C. Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Prasasti ini mungkin dibawa dari luar pulau karena jenis batu yang dipakai tidak terdapat di pulau Bangka tempat prasasti ini berada.keterangan yang terpenting adalah mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bumi jawa yang tidak tunduk terhadap Sriwijaya.( Notosusanto, 2008:76)
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan. Prasasti ini berhurufkan pallawa dan berbahasa melayu kuno, jumlahnya 10 baris
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Karang Berahi
 Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Prasasti Telaga Batu.
Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
2.2 Masa Puncak Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Balaputradewa. Ia mengadakan hubungan dengan raja Dewapaladewa dari India. Dalam prasasti Nalanda yang berasal dari sekitar tahun 860 M disebutkan bahwa Balaputradewa mengajukan permintaan kepada raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan biara bagi para mahasiswa dan pendeta Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Balaputradewa adalah putra Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah tahun 812 – 824 M.
Sriwijaya pernah pula menjadi pusat pendidikan dan pengembangan agama Budha. Seorang biksu Budha dari Cina bernama I-tsing pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa sansekerta. Di Sriwijaya mengajar seorang guru agama Budha terkenal bernama Sakyakirti yang menulis buku berjudul Hastadandasastra. Para biksu Cina yang hendak belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar di Sriwijaya selama 1 – 2 tahun. Pada masa berikutnya, yaitu pada tahun 717 dua pendeta Tantris bernama Wajrabodhi dan Amoghawajra datang ke Sriwijaya. Kemudian, antara tahun 1011-1023 M datang pula pendeta dari Tibet bernama Attisa untuk belajar agama Budha kepada mahaguru di Sriwijaya bernama Dharmakirti.( Muljana,2006:144)
Adapun faktor faktor yang menyebabkan Kerajaan Sriwijaya mencapai masa gemilang yaitu:
1) Letaknya yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Hal ini mendorong Kerajaan Sriwiijaya untuk berkembang pesat sebagai Negaramaju
2) Kemajuan kegiatan perdagangan antara India dan Cina yang melintasi Selat Malaka sehinggamembawakeuntunganyangterbesarbagiSriwijaya.
3) Keruntuhan Kerajaan Funan di Vietnam Selatan akibat serangan Kerajaan Kamboja memberikan kesempatan bagi perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim (sarwajala), yang selama abad ke-6 dipegang oleh Kerajaan Funan
.

2.3 Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya Ekonomi
1. Ekonomi
Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar .
2. Politik
Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan lain.  Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664 M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya,   yaitu :
1.Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya
2.Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan                kesejahteraan bagi rakyatnya
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :
1.      Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
2.      Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3.      Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4.      Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5.      Maharaja (berita Arab, 851 M)
6.      Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
7.      Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8.      Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9.      Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10.  Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11.  Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M).
12.  3. Sosial dan Budaya
Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Itsing, seorang pendeta Cina pernah menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.
Prasasti dan situs yang ditemukan disekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi.Di Lampung, prasasti yang ditemukan, yaitu Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.
2.4 Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Faktor ekonomi
Akibat dari persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua kali penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri Sanggrama Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya.
Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di sebelah utara, seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh Kerajaan Majapahit.
Faktor politik
1.Serangan Kerajaan Chola
Pada saat pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaan Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya membangun candi Budha di Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina raja Sriwijaya, Sri Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama. Karena politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan kerajaan-kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai untuk mempertahankanmonopoliperdaganganmereka.

            Tahun 1007 M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun 1014, sang putra kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan Sriwijaya dan bahkan memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara Negapatam yang dibangun oleh Sriwijaya.
 Pada awal abad ke-11 Masehi, peta politik di sekitar Selat Malaka mulai berubah, persahabatan antara Sriwijaya dan Chola berubah menjadi permusuhan. Tahun 1023 M, raja Rajendra menyerang kedudukan Sriwijaya di Kadaram dan Kataha. Pada abad ke-11 Masehi itu, tercatat tiga kali serangan Chola kepada Sriwijaya.
Dalam serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan kepada daerah Semenanjung Malaka. Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan sama sekali kejayaan Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang terdiri dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di wilayahnya.
Tahun 1025 M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan kedudukan Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau Semenanjung Melayu, tetapi beberapa nama-nama itu belum dapat diidentifikasikan. Tempat yang dapat diidentifikasi dengan pasti adalah Palembang, Melayu (Jambi), dan Pane (pantai timur Sumatra), Langkasuka (Ligor), Takola dan Kedah di daratan Melayu; Tumasik, (sekarang Singapura), Aceh di ujung utara Sumatra, dan kepulauan Nikobar. Namun, serangan dahsyat tersebut, tetap tidak meruntuhkan Sriwijaya, hanya memperkecil daerah kekuasaannya.
Setelah serangan Chola, Sriwijaya kembali dapat membangun menjadi negeri yang besar. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi berupa sisa-sisa bangunan suci; sebuah stupa dan beberapa makara. Salah satu dari makara tersebut berangka tahun 1064 M. Bukti lain berupa kronik Sung-shih tetap mencatat adanya utusan-utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina pada tahun 1028 M, 1067M,dan 1080M.
 Jadi, serangan Chola yang dahsyat itu tidak membuat kerajaan Sriwijaya lemah. Namun akibat serangan Chola itu cukup fatal terhadap kekuasaan kerajaan Sriwijaya; kekuatan kerajaan maritim ini mulai menurun dan dominasi kerajaan Sriwijaya atas lalu-lintas perdagangan di selat Malaka lambat laun makin pudar. Sriwijaya sudah tidak mampu lagi mengawasi negeri-negeri bawahannya. Dalam situasi demikian, negeri Melayu yang terletak di Jambi, yang sejak abad ke-7 Masehi menjadi bawahan kerajaan Sriwijaya, menggunakan kesempatan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Lemahnya kedudukan Sriwijaya setelah serangan Chola tersebut, juga memungkinkan penguasa Airlangga di Jawa Timur (1019 M-1042 M) untuk merebut kembali daerah yang hilang (1006 M) pada era kekuasaan ayahnya, raja Dharmawangsa. Kebijakan politik Airlangga adalah kerjasama dengan penguasa Sriwijaya dalam menghadapi ancaman dan membendung serangan Chola. Penguasa Sriwijaya dan penguasa Airlangga tersebut sepakat mengadakan perdamaian. Tahun 1030 Airlangga kawin dengan puteri Sanggrama Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Dari tahun 1030 M sampai 1064 M tak ada yang diketahui tentang sejarah Sriwijaya. Tahun 1064, sebuah prasasti berbentuk patung makara, ditemukan di Solok, Sumatra Barat yang berbatasan dengan Jambi, menyebut seorang Dharmavira, tetapi tidak ada yang diketahui tentangnya. Patung itu mengandung bukti-bukti seni Jawa. Rupanya setelah itu upaya Sriwijaya menegakkan kembali kekuasaannya atas Sumatra, tetapi tidak pernah mencapai kekuasaannya yang seperti era sebelumya. Yang jelas, penguasa Sriwijaya dengan Airlangga mencapai suatu kesepakatan untuk membiarkan wilayah kekuasaan Airlangga di bagian barat Nusantara dan Jawa ke timur.
2. Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi pamalayu merupakan operasi militer yang dilakukan kerajaan singasari dibawah pimpinan raja kertanegara pada tahun 1275-1293 terhadap kerajaan melayu di dharmasraya di pulau sumatera. Ekspedisi pamalayu bertujuan untuk menaklukkan seluruh bumi melayu. Gagasan tersebut dimulai pada tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.
Negarakertagama mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan. Akibat dari peristiwa ini, daerah kekuasaan kerajaan Sriwijaya direbut oleh kerajaan singasari, sehingga memperlemah kedudukan kerajaan Sriwijaya.


0 komentar:

Posting Komentar